Hari Merah
Karya : Ibnu Hazar
“Polan, bangun!” Entah kenapa aku tidak
mengerti apa yang ia katakan. Ucapannya tidak *”Nanti telat ke sekolah!”* ada
hubungannya dengan pertarungan kami. Aku
pun bertanya, “Apa yang kau katakan?”. Dia terus mengoceh hal-hal aneh di ujung
sana. Tiba-tiba tangan-tangan iblis mencekikku dari belakang. Aku kesulitan
bernapas dan kepalaku pusing.
“Uwah!” Aku melemparkan bantal yang membuatku
sesak napas dari wajahku. Mataku sibuk melirik kesana kemari, kemudian terhenti
di arah jam 12, tepat ke wajah ibuku yang bundar dan tampak lelah. “Sarapan uda
ibu siapin di meja makan, uda jam 07.00 tuh.”
“Lho, masih jam 07.00? Yaudah, sarapannya ntar
aja. Masih ngantuk.”
“Kamu nggak
sekolah?”
“Sekolah,
sekolah. Aku udah kuliah bu. Lagian ini kan hari minggu.”
“Apa? Ini hari
minggu ya?” Tanya ibuku. Aku memutar bola mataku sambil menggaruk-garuk kepala
dengan wajah mengantuk.
Sama seperti hari
minggu biasanya, aku mulai dengan sedikit pemanasan di halaman belakang.
Setelah cukup berkeringat, aku beristirahat di kursi goyang yang berada di
depan jendela kamarku. Aku kemudian melipat lenganku untuk melihat hasil kerja
kerasku selama kurang lebih lima belas menit, ototku turun kebawah. Setelah
mengalami proses pendinginan, yaitu
mandi, beres-beres kamar, melamun sebentar, dan sarapan, terdengar suara
klakson sepeda motor yang sudah kunantikan.
“Yah, Polan pergi dulu ya.”
“Lho, kamu nggak kuliah?” Tanya ayahku. Dengan
wajah menggerutu aku menjawab, “Ini hari minggu yah.” Aku melambaikan tanganku
ke ayahku yang wajahnya masih menunjukkan syok atas informasi bahwa hari ini
adalah hari minggu. Aku kemudian menemui temanku, Joshep yang sudah menunggu di
depan pagar rumahku yang sudah layak untuk di cat ulang.
“Yo.” Sapaku.
“Lan, kamu aja yang bawa motor. Lagi nggak
mood nih.” Joshep memasang tampang memelas.
“Oh, oke. Tempat biasakan?” Tanyaku. Joseph
mengangkat alisnya.
Aku mengendarai
motor Joseph dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Karena terlalu cepat ujung
lututku hampir menyentuh jalan aspal di belokan terakhir. Aku menambah
kecepatanku menembus kerumunan kendaraan yang terlihat seperti penghalang pagar
betis di kacamataku. Aku juga sempat menyerempet motor mas-mas pengantar surat.
“Lan, pelan-pelan aja. Ntar keserempet lagi.”
“Maaf deh tadi nyerempet dikit. Tapi kita udah
telat nih, ntar Lara bisa marah lagii nanti.”
“Yaelah. Emangnya kita pake absensi apa? Udah
kayak sekolahan aja. Biarin aja mereka main duluan.”
“Iya-iya.” Akupun berhenti menyalip kendaraan-kendaraan di
depan karena mengikuti saran dari Joe. Aku samar-samar mendengar lagu Champions
League entah dimana. Kemudian aku tersadar.
“Joe, ada yang nelpon nih. Angkatin dong,
HP-nya di kantung sebelah kanan.” Aku merasakan sensasi yang tidak pantas untuk
dibicarakan ketika Joe merogoh kantungku.
“Halo.” Tiba-tiba Joseph menjauhkan HP-ku dari
telinganya. Aku bisa mendengar suara Lara yang serak-serak berserak dari HP-ku.
Suaranya terdengar cukup keras walaupun Joseph tidak mengaktifkan loudspeaker.
“Halo Ra, ini Joe. Kami masih di jalan nih.
Kalian main aja duluan, ntar kami nyusul.” Kata Joseph cukup keras karena suara
angin dan kendaraan yang mengganggu. Aku setengah tertawa mendengar jawaban
Lara yang semakin menggila.
“Iya, sorry deh. Lain kali nggak bakalan telat
lagi.” Jawab Joseph. Lara menutup telfonnya.
“Tuh kan. Aku bilang juga apa.” Sambil
melebarkan senyum kemenangan.
“Jadi gimana nih, masih mau pelan-pelan?”
Pancingku.
“Udah, santai aja. Perkataan nenek-nenek nggak
usah ditakutin. Takut itu sama yang di atas. Lagian perasaanku lagi nggak
enakan hari ini.”
“Haa..? Perasaanmu nggak enak? Haha. Udah
kayak sinetron aja pake firasat segala. Lagian kamu sih, jemputnya kelamaan.
Waktu kita kan jadi berkurang.”
“Lho, jadi kamu nyalahin aku gara-gara
kelamaan jemput? Maap deh kalo gitu. Aku nggak biasa jemput temen dulu kalo mau
main.”
“Oh, kamu ngeledek aku karena nggak bawa
motor?” Tanyaku. Aku mulai emosi sekarang. Entah kenapa karena itu juga aku
semakin menambah kecepatanku.
“Mungkin.” Jawab Joseph tenang.
“Kalo aja motorku nggak di bengkel sekarang
ini aku juga nggak bakalan minta jemput. Tau gini mending aku minta jemput sama
yang laen aja.”
“Maksud kamu apa minta jemput yang laen? Kalo
kamu nggak suka kenapa dari awal minta tolong sama aku? Capek tau!” Joseph juga
emosi.
“Soalnya aku baru tau sifat sombongmu!”
Teriakku sambil melihat ke belakang. Aku terkejut melihat perubahan ekspresi
Joseph yang mendadak. Apakah dia mendapat pencerahan setelah mendengar ucapanku
yang tak seberapa itu?
“Lan, awas!”
Teriak Joseph. Aku langsung menoleh ke depan, ada lubang yang cukup dalam.
Dengan spontan aku mengerem, namun sudah terlambat.
Entah kenapa
tiba-tiba semuanya menjadi lambat. Rasanya waktu seperti diperlambat seperempat
dari biasanya. Wajahku menghadap ke langit, namun aku tidak merasa damai
melihatnya dikarenakan pemandangan itu tertutupi oleh sepeda motor Joseph yang
barada di depan wajahku. Aku baru menyadari bahwa Joseph sendiri ada di sampingku, sepertinya posisisnya tidak
begitu nyaman walaupun aku sudah tidak mengerti dan tidak peduli mana atas dan
mana bawah. Kami seperti sedang melakukan atraksi di udara. Kacamataku mulai
meninggalkanku mengikuti sepeda motor Joseph menuju aspal hitam yang kasar.
Menurut logikaku, di saat seperti ini sebaiknya aku menutup mataku. Dan aku
melakukannya.
Aku membuka
mataku. Aku melihat bayangan bidadari-bidadari yang bersiap untuk menyambutku
dengan tangan lembut mereka. Oh, sepertinya aku terlalu berharap. Ada banyak
orang yang mengelilingiku. Mereka hanya seperti bayangan-bayangan kabur di
mataku. Kelihatannya semua gerakan sudah kembali normal, karena aku tidak
merasakan sensasi slowmotion lagi. Joseph menarikku bangun dan memberikan
kacamataku yang retak sebelah. Aku sangat bingung karena dia tidak terluka sama
sekali, mengingat penampakan barusan yang seharusnya menyebabkan luka yang
lebih berat dibandingkan lukaku. Sepeda motornya pun hanya lecet sedikit.
Setelah semua orang sudah pergi aku meminta maaf kepada Joseph atas kerusakan
pada sepeda motornya.
“Joe, sorry ya.
Gara-gara keteledoranku kita jadi kayak gini.” Aku mencoba mencari kata-kata
yang lebih tepat, namun tidak berhasil.
“Udah nggak
apa-apa, aku juga minta maap soal sikapku tadi.” Ucapnya dengan tenang. Kami
melanjutkan perjalanan ke bowling dalam diam. Aku jadi teringat perkataan
Joseph mengenai perasaan tidak enaknya. Sepertinya aku telah dikutuk oleh
sinetron.
Kami berdua
merasa begitu lelah untuk menjawab seribu pertanyaan teman-teman yang sudah
menunggu kami begitu lama, namun pada akhirnya mereka berhenti bertanya dan aku
sangat bersyukur karenanya. Kedua orangtuaku terpelongo melihat badanku yang
penuh lecet. Aku hanya diam memasuki kamarku. Pukul empat sore aku keluar kamar
dengan pakaian lengkap.
“Udah babak belur
gitu masih mau naik sepeda?” Tanya ibuku.
“Cuma lecet
sedikit kok bu.” Jawabku tenang. Aku pergi dengan mengendarai sepedaku untuk
menjumpai teman-teman klub sepeda di tempat kami biasa ngumpul. Beginilah
aktifitasku setiap minggunya, tidur, bersepeda sore. Tapi terkadang aku pergi
bersama keluargaku. Aku senang karena dengan adanya hari ini aku bisa
bersenang-senang dengan teman dan refreshing dengan keluarga selama satu harian
penuh.
Setelah tiba di
perkumpulan, salah satu temanku, Mello mendatangiku.
“Lan, mukamu
kenapa? Abis digebukin warga?” Aku memasang wajah minta dikasihani karena
terlalu capek menjawab pertanyaan yang sama.
“Nggak, tadi
kebentur tiang jemuran.”
“Ooh. Eh, hari
ini kita lewat rute yang sepi aja ya. Perasaanku lagi nggak nyaman soalnya.”
Ucap Mello. Mendengar kalimat terakhir, tanpa kusadari aku sudah tersenyum
dengan sendirinya.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar