Selamat Datang di Blognya Mahasiswa Iseng
Loading
Home » » Hari Merah

Hari Merah

Written By Ammar Aiman on Sabtu, 19 Mei 2012 | 00.44

Hari Merah
Karya : Ibnu Hazar
Genangan air bergemericik seiring dengan langkah cepatku. Aku melompat dari satu pohon ke pohon lain. Sayapku berkibar-kibar sementara kakiku masih terus berlari bagaikan kilat dan bola mataku berkobar-kobar sampai-sampai mataku terlihat seperti kebakaran. Aku melewati bukit hanya dengan dua lompatan, aku tidak mengerti mengapa aku bisa melakukan hal itu. Tidak lama kemudian tiba-tiba aku sudah mengalahkan dua ratus orang musuhyang sudah berserakan seperti daun-daun yang gugur dari pohonnya dan malas untuk menyapunya. Aku hanya menyisakan sang pemimpin musuh untuk tetap hidup agar terlihat lebih keren. Tubuh kami berdiri dengan kaku dan mata kami bertemu, siap untuk mengayunkan pedang. Sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu sebelum pertarungan akhir, aku menunda tindakanku untuk mendengarkan dengan seksama. Mulutnya mulai terbuka___
 “Polan, bangun!” Entah kenapa aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Ucapannya tidak *”Nanti telat ke sekolah!”* ada hubungannya dengan pertarungan kami.  Aku pun bertanya, “Apa yang kau katakan?”. Dia terus mengoceh hal-hal aneh di ujung sana. Tiba-tiba tangan-tangan iblis mencekikku dari belakang. Aku kesulitan bernapas dan kepalaku pusing.
 “Uwah!” Aku melemparkan bantal yang membuatku sesak napas dari wajahku. Mataku sibuk melirik kesana kemari, kemudian terhenti di arah jam 12, tepat ke wajah ibuku yang bundar dan tampak lelah. “Sarapan uda ibu siapin di meja makan, uda jam 07.00 tuh.”
 “Lho, masih jam 07.00? Yaudah, sarapannya ntar aja. Masih ngantuk.”
“Kamu nggak sekolah?”
“Sekolah, sekolah. Aku udah kuliah bu. Lagian ini kan hari minggu.”
“Apa? Ini hari minggu ya?” Tanya ibuku. Aku memutar bola mataku sambil menggaruk-garuk kepala dengan wajah mengantuk.
Sama seperti hari minggu biasanya, aku mulai dengan sedikit pemanasan di halaman belakang. Setelah cukup berkeringat, aku beristirahat di kursi goyang yang berada di depan jendela kamarku. Aku kemudian melipat lenganku untuk melihat hasil kerja kerasku selama kurang lebih lima belas menit, ototku turun kebawah. Setelah mengalami  proses pendinginan, yaitu mandi, beres-beres kamar, melamun sebentar, dan sarapan, terdengar suara klakson sepeda motor yang sudah kunantikan.
 “Yah, Polan pergi dulu ya.”
 “Lho, kamu nggak kuliah?” Tanya ayahku. Dengan wajah menggerutu aku menjawab, “Ini hari minggu yah.” Aku melambaikan tanganku ke ayahku yang wajahnya masih menunjukkan syok atas informasi bahwa hari ini adalah hari minggu. Aku kemudian menemui temanku, Joshep yang sudah menunggu di depan pagar rumahku yang sudah layak untuk di cat ulang.
 “Yo.” Sapaku.
 “Lan, kamu aja yang bawa motor. Lagi nggak mood nih.” Joshep memasang tampang memelas.
 “Oh, oke. Tempat biasakan?” Tanyaku. Joseph mengangkat alisnya.
Aku mengendarai motor Joseph dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Karena terlalu cepat ujung lututku hampir menyentuh jalan aspal di belokan terakhir. Aku menambah kecepatanku menembus kerumunan kendaraan yang terlihat seperti penghalang pagar betis di kacamataku. Aku juga sempat menyerempet motor mas-mas pengantar surat.
 “Lan, pelan-pelan aja. Ntar keserempet lagi.”
 “Maaf deh tadi nyerempet dikit. Tapi kita udah telat nih, ntar Lara bisa marah lagii nanti.”
 “Yaelah. Emangnya kita pake absensi apa? Udah kayak sekolahan aja. Biarin aja mereka main duluan.”
 “Iya-iya.” Akupun  berhenti menyalip kendaraan-kendaraan di depan karena mengikuti saran dari Joe. Aku samar-samar mendengar lagu Champions League entah dimana. Kemudian aku tersadar.
 “Joe, ada yang nelpon nih. Angkatin dong, HP-nya di kantung sebelah kanan.” Aku merasakan sensasi yang tidak pantas untuk dibicarakan ketika Joe merogoh kantungku.
 “Halo.” Tiba-tiba Joseph menjauhkan HP-ku dari telinganya. Aku bisa mendengar suara Lara yang serak-serak berserak dari HP-ku. Suaranya terdengar cukup keras walaupun Joseph tidak mengaktifkan loudspeaker.
 “Halo Ra, ini Joe. Kami masih di jalan nih. Kalian main aja duluan, ntar kami nyusul.” Kata Joseph cukup keras karena suara angin dan kendaraan yang mengganggu. Aku setengah tertawa mendengar jawaban Lara yang semakin menggila.
 “Iya, sorry deh. Lain kali nggak bakalan telat lagi.” Jawab Joseph. Lara menutup telfonnya.
 “Tuh kan. Aku bilang juga apa.” Sambil melebarkan senyum kemenangan.
 “Jadi gimana nih, masih mau pelan-pelan?” Pancingku.
 “Udah, santai aja. Perkataan nenek-nenek nggak usah ditakutin. Takut itu sama yang di atas. Lagian perasaanku lagi nggak enakan hari ini.”
 “Haa..? Perasaanmu nggak enak? Haha. Udah kayak sinetron aja pake firasat segala. Lagian kamu sih, jemputnya kelamaan. Waktu kita kan jadi berkurang.”
 “Lho, jadi kamu nyalahin aku gara-gara kelamaan jemput? Maap deh kalo gitu. Aku nggak biasa jemput temen dulu kalo mau main.”
 “Oh, kamu ngeledek aku karena nggak bawa motor?” Tanyaku. Aku mulai emosi sekarang. Entah kenapa karena itu juga aku semakin menambah kecepatanku.
 “Mungkin.” Jawab Joseph tenang.
 “Kalo aja motorku nggak di bengkel sekarang ini aku juga nggak bakalan minta jemput. Tau gini mending aku minta jemput sama yang laen aja.”
 “Maksud kamu apa minta jemput yang laen? Kalo kamu nggak suka kenapa dari awal minta tolong sama aku? Capek tau!” Joseph juga emosi.
 “Soalnya aku baru tau sifat sombongmu!” Teriakku sambil melihat ke belakang. Aku terkejut melihat perubahan ekspresi Joseph yang mendadak. Apakah dia mendapat pencerahan setelah mendengar ucapanku yang tak seberapa itu?
“Lan, awas!” Teriak Joseph. Aku langsung menoleh ke depan, ada lubang yang cukup dalam. Dengan spontan aku mengerem, namun sudah terlambat.
Entah kenapa tiba-tiba semuanya menjadi lambat. Rasanya waktu seperti diperlambat seperempat dari biasanya. Wajahku menghadap ke langit, namun aku tidak merasa damai melihatnya dikarenakan pemandangan itu tertutupi oleh sepeda motor Joseph yang barada di depan wajahku. Aku baru menyadari bahwa Joseph sendiri  ada di sampingku, sepertinya posisisnya tidak begitu nyaman walaupun aku sudah tidak mengerti dan tidak peduli mana atas dan mana bawah. Kami seperti sedang melakukan atraksi di udara. Kacamataku mulai meninggalkanku mengikuti sepeda motor Joseph menuju aspal hitam yang kasar. Menurut logikaku, di saat seperti ini sebaiknya aku menutup mataku. Dan aku melakukannya.
Aku membuka mataku. Aku melihat bayangan bidadari-bidadari yang bersiap untuk menyambutku dengan tangan lembut mereka. Oh, sepertinya aku terlalu berharap. Ada banyak orang yang mengelilingiku. Mereka hanya seperti bayangan-bayangan kabur di mataku. Kelihatannya semua gerakan sudah kembali normal, karena aku tidak merasakan sensasi slowmotion lagi. Joseph menarikku bangun dan memberikan kacamataku yang retak sebelah. Aku sangat bingung karena dia tidak terluka sama sekali, mengingat penampakan barusan yang seharusnya menyebabkan luka yang lebih berat dibandingkan lukaku. Sepeda motornya pun hanya lecet sedikit. Setelah semua orang sudah pergi aku meminta maaf kepada Joseph atas kerusakan pada sepeda motornya.
“Joe, sorry ya. Gara-gara keteledoranku kita jadi kayak gini.” Aku mencoba mencari kata-kata yang lebih tepat, namun tidak berhasil.
“Udah nggak apa-apa, aku juga minta maap soal sikapku tadi.” Ucapnya dengan tenang. Kami melanjutkan perjalanan ke bowling dalam diam. Aku jadi teringat perkataan Joseph mengenai perasaan tidak enaknya. Sepertinya aku telah dikutuk oleh sinetron.
Kami berdua merasa begitu lelah untuk menjawab seribu pertanyaan teman-teman yang sudah menunggu kami begitu lama, namun pada akhirnya mereka berhenti bertanya dan aku sangat bersyukur karenanya. Kedua orangtuaku terpelongo melihat badanku yang penuh lecet. Aku hanya diam memasuki kamarku. Pukul empat sore aku keluar kamar dengan pakaian lengkap.
“Udah babak belur gitu masih mau naik sepeda?” Tanya ibuku.
“Cuma lecet sedikit kok bu.” Jawabku tenang. Aku pergi dengan mengendarai sepedaku untuk menjumpai teman-teman klub sepeda di tempat kami biasa ngumpul. Beginilah aktifitasku setiap minggunya, tidur, bersepeda sore. Tapi terkadang aku pergi bersama keluargaku. Aku senang karena dengan adanya hari ini aku bisa bersenang-senang dengan teman dan refreshing dengan keluarga selama satu harian penuh.
Setelah tiba di perkumpulan, salah satu temanku, Mello mendatangiku.
“Lan, mukamu kenapa? Abis digebukin warga?” Aku memasang wajah minta dikasihani karena terlalu capek menjawab pertanyaan yang sama.
“Nggak, tadi kebentur tiang jemuran.”
“Ooh. Eh, hari ini kita lewat rute yang sepi aja ya. Perasaanku lagi nggak nyaman soalnya.” Ucap Mello. Mendengar kalimat terakhir, tanpa kusadari aku sudah tersenyum dengan sendirinya.
SELESAI





Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Anda Adalah Orang Yang Ke-

Followers

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blognya Manusia Iseng - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger